Mind your Mind (and fingers)
Tengah malam, mataku tiba-tiba terhenti membaca tweet dari salah satu tweetseleb Indonesia yang kemudian banyak di reply dan di re-tweet oleh followernya. Biasanya aku sangat jarang follow seorang tweet seleb, namun karena tweet dia kadang memberikan feed news yang cukup menarik, aku mengikutinya sejak awal.
Tweet itu merupakan screen capture dari status Path seorang perempuan (yang menurutku sudah tidak ABG lagi karena sudah bekerja). Intinya, status itu adalah tumpahan kemarahan dia atas perebutan hak duduk di salah satu gerbong kereta yang mengantarkannya berangkat dan pulang ke kantor. Kebetulan, perebutannya adalah dengan wanita hamil. Merasa duduk terlebih dahulu dan dia sudah melakukan effort untuk berangkat pagi demi tempat duduk tersebut, kemudian kehadiran wanita hamil seperti pencurang, pencuri hak yang sudah ia perjuangkan sejak pagi hari.
Tergelitik, aku save screen capture tersebut kemudian aku hitamkan bagian nama dan foto dia, kemudian tidak bisa menahan diri, aku upload ke akun path-ku. Yang terlintas di otakku saat itu adalah:
1. Gila, ini siapa yang screen capture status temennya dan sampai bisa menyebarluaskan seperti ini?
2. Poor little woman, you must be so angry and intolerant.(Mengaku, aku juga wondering, how could you,WOMAN??).
Setelah upload, aku letakkan handphone dan beranjak ke peraduan.
Pagi hari, setelah melakukan ritual pagi, aku mengecek hp dan ternyata notifikasi dari HPku mulai berjibun. Komentar demi komentar yang bernada kemarahan muncul di bawah hasil upload semalam.
My mistake, aku tidak mengantisipasi kemarahan orang-orang akan status orang yang tidak kukenal itu.
Tak lama setelah memeriksa feedku, ternyata puluhan temanku juga mengupload screen capture asli tersebut dengan nama dan foto dibeberkan dengan gamblang. Pemikiranku saat itu adalah "I'm out of this now"_aku ngga mau ikut-ikutan.
Well, aku tidak mau menjustifikasi moralitas rangkaian bencana nurani ini, pemilik status, peng-screen capture status, second-screen capturer, third screen capturer, million screen capturer, dan komentar marah, mengutuk, menyumpah, men-tidak manusiakan. I guess we had our own value to behave on something like this, hadn't we?
Kejadian ini mengingatkanku saat masa aku masih duduk di bangku sekolah, SMA to be precise. Saat pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), dulu guruku sering mengelompokkan murid-muridnya menjadi grup diskusi akan suatu masalah yang menyangkut hidup bermasyarakat, seperti salah satunya adalah (topik yang aku ingat) mengajak tetangga yang kristen untuk kerja bakti di minggu pagi padahal saat itu adalah jadwal ia beribadah ke gereja.
Dalam topik itu setiap kelompok akan menyampaikan pendapat dan setiap anggota kelompok di-encourage untuk menyampaikan pendapat. Dari situlah, teori-teori hidup berkewarganegaraan benar-benar diterapkan dalam diskusi kecil, seperti: mendengar pendapat orang lain, tidak memotong pembicaraan orang lain, tidak menyudutkan orang lain, menyampaikan perbedaan pendapat tanpa menyinggung hati orang lain. Prinsipnya, serang opininya, bukan orangnya.
Dari mini praktek itu, sedikit demi sedikit siswa belajar untuk berpendapat sesuai dengan prinsip kewarganegaraan yang baik. Bahwa orang perlu mempertimbangkan terlebih dahulu sebelum ia mengucapkan sesuatu.
Lucunya, dulu aku tidak menganggap hal itu berguna bagi kemajuan hidupku. Tidak berdampak pada seberapa banyak uang yang akan aku hasilkan di masa depan (*dollar sign eyes*). Layaknya sebagian besar siswa sekolah menganggap PPKN adalah pelajaran yang sangat mudah, hanya tinggal berpura-pura menjadi orang baik untuk menjawab jawaban yang paling tepat.
Namun lambat laun saat aku tumbuh dewasa, dan akhirnya memiliki (sedikit) kebijaksanaan, aku mulai bisa mengambil kebaikan bahkan dalam hal yang dulu kuanggap less important, seperti diskusi kecil dalam kelas PPKN.
Aku tidak tahu bagaimana aplikasi pelajaran PKN saat ini di sekolah-sekolah, dan bagaimana guru menerapkan metode mengajarnya untuk menanamkan prinsip dasar PKN. Mungkin, saat ini aplikasinya tidak jauh berbeda dengan dulu.
Namun refer pada kejadian status di media sosial pribadi yang kemudian menjadi dianggap 'bencana moral kaum muda' oleh sebagian orang, membuatku kembali mempertanyakan pendidikan kewarganegaraan penduduk indonesia saat ini (tidak hanya kaum muda).
Seperti yang aku bilang tadi, aku tidak akan menjustifikasi moralitas setiap peran yang ikut andil dalam permasalahan ini, namun aku ingin sedikit mengomentari bagaimana etika dalam berpendapat.
Sebagai warga negara indonesia, dan bersekolah, kita pasti tahu tentang keberadaan pasal 28 UUD yang salah satunya berbunyi:
"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat."
Tenang, tidak ada pelajaran PPKN di sini. Dari situ sudah jelas bahwa setiap orang punya hak hakiki untuk berpendapat. Sang pembuat status berhak, sang pengomentar juga berhak.
Namun kembali lagi, seberapa jauh hak itu kita miliki tanpa harus melanggar hak orang lain?
Seberapa jauh kita bisa berpendapat tanpa harus menyinggung orang lain?
Kalau diperhatikan, saat teknologi internet begitu mudahnya menyentuh semua orang membuat orang semakin mudah menyampaikan pendapatnya. Kejadian status yang tersebar luaskan ini bukan yang pertama, namun juga bukan yang terakhir. Dan kalau kita lihat di halaman situs portal berita di kolom komentar yang biasa tersedia di bawah sebuah artikel, maka kita akan menemukan ajaibnya pendapat orang-orang. Kadang, sesama komentator pun saling mengomentari dan memaki.
Indahnya berpendapat kan?
Kenapa hal ini bisa terjadi? Kalau dulu, saat kita harus menyampaikan pendapat di muka umum, seluruh mata akan memandang kita, seluruh telinga mendengarkan suara kita dan semua berkonsentrasi pada apa yang keluar dari lidah kita. Momen itulah yang membuat kita lumpuh seketika, ketakutan dan harus sangat berhati-hati atas apa yang kita ucapkan. Pressure yang kadang membuat kita gagap seketika.
Nah, saat orang di internet. Orang tidak menatap ke arah kita, bahkan tidak mengetahui siapa kita. Apapun yang kita tulis tidak merepresentasi kita sebagai individu.Seperti kata orang-orang :
"In internet, we won't even know that we are just dealing with a cat."
Pressure yang telah hilang tersebut membuat orang mengadopsi pasal 28 sepenuhnya. Atas nama hak kita bisa berpendapat, apapun yang kita mau.
Namun kadang kita lupa, bahwa bagaimanapun kita memalsukan identitas, dan tidak menjadi diri sendiri di internet, there is a way to know who you are.
Seperti kasus Ibu hamil yang kusebutkan tadi, setelah dilacak lebih jauh, ternyata wanita tersebut adalah teman dari seorang teman dan kemudian boom! seluruh background dia terbuka dan thread-thread pun menelanjangi dia habis-habisan. Tidak hanya tentang opininya, melainkan menyinggung ke hal lain seperti gender, tempat tinggal, tempat ia bekerja dan lain-lain. Mendadak semua orang menjadi psikolog yang mengetahui kondisi psikis wanita tersebut.Mengkritik adalah hal yang sangat mudah bukan?
Well, my point is no point (like always). I mean, mind your mind before you sharing something in internet. Meskipun tidak ada orang yang sedang melihat kita, dan berasaskan pasal 28 tadi, namun jangan melupakan etika dalam menyampaikan pendapat seperti yang pernah diajarkan saat kita berada di bangku sekolah.
Dan lagi, mungkin sudah saat nya pendidikan mulai menyiapkan bahasan tentang etika bersosial media dalam usia muda karena mau tidak mau sosial media telah menjadi bagian yang sangat berpengaruh dalam usia muda kita.Tidak hanya tentang berstatus ria, namun juga untuk menentukan ruang publik atau private dalam social media.
Hal ini mengingatkanku pada post path temanku yang mengupload foto salah satu artikel majalah Bobo yaitu tentang cara ber-selfie. How is it sound? sejauh yang aku ingat Bobo dibaca oleh anak usia SD, dan mereka sudah familiar dengan yang namanya selfie. Lihat bagaimana dampak dunia digital telah menyentuh anak-anak usia muda.Aku tidak menjustifikasi Bobo salah atau tidak memasang artikel tersebut karena aku tidak tahu apakah pelajaran selfie berguna bagi anak SD atau tidak, namun yang aku tekankan adalah jika kita tidak segera mengedukasi diri kita (tidak terbatas anak muda dan usia dini) tentang berbahaya dan hebatnya teknologi baru ini, maka yang terjadi adalah kita bisa menjadi manusia yang kebablasan.
Kebablasan berkomentar, kebablasan menyampaikan pendapat, kebablasan menyakiti orang lain. atau kebablasan membagi sesuatu yang pribadi ke muka publik.
Memang secara singkat dampak dari kebablasan tersebut tidak akan membawa kita_terburuknya di balik jeruji, namun kalau aku pribadi, akan sangat berguna jika kita bisa membatasi diri demi terciptanya hidup berkewarganegaraan yang damai, adil dan sentosa (quote dari pelajaran PPKN).
Let's do little for greater reason.
That's all my rubbish.
Tweet itu merupakan screen capture dari status Path seorang perempuan (yang menurutku sudah tidak ABG lagi karena sudah bekerja). Intinya, status itu adalah tumpahan kemarahan dia atas perebutan hak duduk di salah satu gerbong kereta yang mengantarkannya berangkat dan pulang ke kantor. Kebetulan, perebutannya adalah dengan wanita hamil. Merasa duduk terlebih dahulu dan dia sudah melakukan effort untuk berangkat pagi demi tempat duduk tersebut, kemudian kehadiran wanita hamil seperti pencurang, pencuri hak yang sudah ia perjuangkan sejak pagi hari.
Tergelitik, aku save screen capture tersebut kemudian aku hitamkan bagian nama dan foto dia, kemudian tidak bisa menahan diri, aku upload ke akun path-ku. Yang terlintas di otakku saat itu adalah:
1. Gila, ini siapa yang screen capture status temennya dan sampai bisa menyebarluaskan seperti ini?
2. Poor little woman, you must be so angry and intolerant.(Mengaku, aku juga wondering, how could you,WOMAN??).
Setelah upload, aku letakkan handphone dan beranjak ke peraduan.
Pagi hari, setelah melakukan ritual pagi, aku mengecek hp dan ternyata notifikasi dari HPku mulai berjibun. Komentar demi komentar yang bernada kemarahan muncul di bawah hasil upload semalam.
My mistake, aku tidak mengantisipasi kemarahan orang-orang akan status orang yang tidak kukenal itu.
Tak lama setelah memeriksa feedku, ternyata puluhan temanku juga mengupload screen capture asli tersebut dengan nama dan foto dibeberkan dengan gamblang. Pemikiranku saat itu adalah "I'm out of this now"_aku ngga mau ikut-ikutan.
Well, aku tidak mau menjustifikasi moralitas rangkaian bencana nurani ini, pemilik status, peng-screen capture status, second-screen capturer, third screen capturer, million screen capturer, dan komentar marah, mengutuk, menyumpah, men-tidak manusiakan. I guess we had our own value to behave on something like this, hadn't we?
Kejadian ini mengingatkanku saat masa aku masih duduk di bangku sekolah, SMA to be precise. Saat pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), dulu guruku sering mengelompokkan murid-muridnya menjadi grup diskusi akan suatu masalah yang menyangkut hidup bermasyarakat, seperti salah satunya adalah (topik yang aku ingat) mengajak tetangga yang kristen untuk kerja bakti di minggu pagi padahal saat itu adalah jadwal ia beribadah ke gereja.
Dalam topik itu setiap kelompok akan menyampaikan pendapat dan setiap anggota kelompok di-encourage untuk menyampaikan pendapat. Dari situlah, teori-teori hidup berkewarganegaraan benar-benar diterapkan dalam diskusi kecil, seperti: mendengar pendapat orang lain, tidak memotong pembicaraan orang lain, tidak menyudutkan orang lain, menyampaikan perbedaan pendapat tanpa menyinggung hati orang lain. Prinsipnya, serang opininya, bukan orangnya.
Dari mini praktek itu, sedikit demi sedikit siswa belajar untuk berpendapat sesuai dengan prinsip kewarganegaraan yang baik. Bahwa orang perlu mempertimbangkan terlebih dahulu sebelum ia mengucapkan sesuatu.
Lucunya, dulu aku tidak menganggap hal itu berguna bagi kemajuan hidupku. Tidak berdampak pada seberapa banyak uang yang akan aku hasilkan di masa depan (*dollar sign eyes*). Layaknya sebagian besar siswa sekolah menganggap PPKN adalah pelajaran yang sangat mudah, hanya tinggal berpura-pura menjadi orang baik untuk menjawab jawaban yang paling tepat.
Namun lambat laun saat aku tumbuh dewasa, dan akhirnya memiliki (sedikit) kebijaksanaan, aku mulai bisa mengambil kebaikan bahkan dalam hal yang dulu kuanggap less important, seperti diskusi kecil dalam kelas PPKN.
Aku tidak tahu bagaimana aplikasi pelajaran PKN saat ini di sekolah-sekolah, dan bagaimana guru menerapkan metode mengajarnya untuk menanamkan prinsip dasar PKN. Mungkin, saat ini aplikasinya tidak jauh berbeda dengan dulu.
Namun refer pada kejadian status di media sosial pribadi yang kemudian menjadi dianggap 'bencana moral kaum muda' oleh sebagian orang, membuatku kembali mempertanyakan pendidikan kewarganegaraan penduduk indonesia saat ini (tidak hanya kaum muda).
Seperti yang aku bilang tadi, aku tidak akan menjustifikasi moralitas setiap peran yang ikut andil dalam permasalahan ini, namun aku ingin sedikit mengomentari bagaimana etika dalam berpendapat.
Sebagai warga negara indonesia, dan bersekolah, kita pasti tahu tentang keberadaan pasal 28 UUD yang salah satunya berbunyi:
"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat."
Tenang, tidak ada pelajaran PPKN di sini. Dari situ sudah jelas bahwa setiap orang punya hak hakiki untuk berpendapat. Sang pembuat status berhak, sang pengomentar juga berhak.
Namun kembali lagi, seberapa jauh hak itu kita miliki tanpa harus melanggar hak orang lain?
Seberapa jauh kita bisa berpendapat tanpa harus menyinggung orang lain?
Kalau diperhatikan, saat teknologi internet begitu mudahnya menyentuh semua orang membuat orang semakin mudah menyampaikan pendapatnya. Kejadian status yang tersebar luaskan ini bukan yang pertama, namun juga bukan yang terakhir. Dan kalau kita lihat di halaman situs portal berita di kolom komentar yang biasa tersedia di bawah sebuah artikel, maka kita akan menemukan ajaibnya pendapat orang-orang. Kadang, sesama komentator pun saling mengomentari dan memaki.
Indahnya berpendapat kan?
Kenapa hal ini bisa terjadi? Kalau dulu, saat kita harus menyampaikan pendapat di muka umum, seluruh mata akan memandang kita, seluruh telinga mendengarkan suara kita dan semua berkonsentrasi pada apa yang keluar dari lidah kita. Momen itulah yang membuat kita lumpuh seketika, ketakutan dan harus sangat berhati-hati atas apa yang kita ucapkan. Pressure yang kadang membuat kita gagap seketika.
Nah, saat orang di internet. Orang tidak menatap ke arah kita, bahkan tidak mengetahui siapa kita. Apapun yang kita tulis tidak merepresentasi kita sebagai individu.Seperti kata orang-orang :
"In internet, we won't even know that we are just dealing with a cat."
Pressure yang telah hilang tersebut membuat orang mengadopsi pasal 28 sepenuhnya. Atas nama hak kita bisa berpendapat, apapun yang kita mau.
Namun kadang kita lupa, bahwa bagaimanapun kita memalsukan identitas, dan tidak menjadi diri sendiri di internet, there is a way to know who you are.
Seperti kasus Ibu hamil yang kusebutkan tadi, setelah dilacak lebih jauh, ternyata wanita tersebut adalah teman dari seorang teman dan kemudian boom! seluruh background dia terbuka dan thread-thread pun menelanjangi dia habis-habisan. Tidak hanya tentang opininya, melainkan menyinggung ke hal lain seperti gender, tempat tinggal, tempat ia bekerja dan lain-lain. Mendadak semua orang menjadi psikolog yang mengetahui kondisi psikis wanita tersebut.Mengkritik adalah hal yang sangat mudah bukan?
Well, my point is no point (like always). I mean, mind your mind before you sharing something in internet. Meskipun tidak ada orang yang sedang melihat kita, dan berasaskan pasal 28 tadi, namun jangan melupakan etika dalam menyampaikan pendapat seperti yang pernah diajarkan saat kita berada di bangku sekolah.
Dan lagi, mungkin sudah saat nya pendidikan mulai menyiapkan bahasan tentang etika bersosial media dalam usia muda karena mau tidak mau sosial media telah menjadi bagian yang sangat berpengaruh dalam usia muda kita.Tidak hanya tentang berstatus ria, namun juga untuk menentukan ruang publik atau private dalam social media.
Hal ini mengingatkanku pada post path temanku yang mengupload foto salah satu artikel majalah Bobo yaitu tentang cara ber-selfie. How is it sound? sejauh yang aku ingat Bobo dibaca oleh anak usia SD, dan mereka sudah familiar dengan yang namanya selfie. Lihat bagaimana dampak dunia digital telah menyentuh anak-anak usia muda.Aku tidak menjustifikasi Bobo salah atau tidak memasang artikel tersebut karena aku tidak tahu apakah pelajaran selfie berguna bagi anak SD atau tidak, namun yang aku tekankan adalah jika kita tidak segera mengedukasi diri kita (tidak terbatas anak muda dan usia dini) tentang berbahaya dan hebatnya teknologi baru ini, maka yang terjadi adalah kita bisa menjadi manusia yang kebablasan.
Kebablasan berkomentar, kebablasan menyampaikan pendapat, kebablasan menyakiti orang lain. atau kebablasan membagi sesuatu yang pribadi ke muka publik.
Memang secara singkat dampak dari kebablasan tersebut tidak akan membawa kita_terburuknya di balik jeruji, namun kalau aku pribadi, akan sangat berguna jika kita bisa membatasi diri demi terciptanya hidup berkewarganegaraan yang damai, adil dan sentosa (quote dari pelajaran PPKN).
Let's do little for greater reason.
That's all my rubbish.
Comments
Post a Comment