My Fantasy
"Don't you think it's time we started doing what we always wanted, One day we're gonna get so high" Lighthouse Family-High
Sebuah quote dalam cover album Lighthouse Family- Postcards from Heaven yang keluar di akhir tahun 90'an saat itu langsung menyita perhatianku. Di tahun-tahun itu aku sedang giat-giatnya mempelajari bahasa inggris dan cara termudah adalah melahap semua lagu berbahasa inggris, termasuk lagu High dari Light house Family.
Apa yang sangat spesial dari quote itu adalah satu-satunya quote yang aku ingat dikeluarkan oleh siapa dan exactly letter per letter( Please pardon my limited space of memory). Karena biasanya, quote yang aku baca selalu menguap beberapa detik setelah aku menafsirkan maknanya.
Bersama dengan jutaan manusia lain di belahan bumi, aku sepakat bahwa lagu High adalah lagu terbaik yang bisa kita dengarkan saat berada di level terendah hidup. Namun mengapa hanya kata-kata di atas itu diquote oleh Light house bahkan dicetak di cover cassete nya?
Time after time, aku tidak pernah mempertanyakan kembali mengapa kata-kata itu yang dipilih oleh Light House Family. Rasa penasaranku menguap sejalan dg waktu. Namun aku mengingatnya, bahkan menuliskannya (secara tidak sadar) di meja belajar milikku menggunakan tip-ex di atas kayu tripleks (yeah, artistic level unbelievable right?).
Seakan tercetak di otakku, aku selalu percaya bahwa setiap keberhasilan yang aku raih bukanlah tujuan akhir melainkan saat semuanya dimulai kembali. Tidak berarti untuk menjadi ambisius, namun kata-kata itu yang tetap membuat kakiku menjejak di tanah agar aku tidak jatuh saat menaiki tangga yang ada di atasku.
One day we're gonna get so high,
higher than before.
Karena hidup manusia adalah suatu proses yang terus berkontinyu. Kegagalan, keberhasilan merupakan proses kembali ke awal, restart. Seperti kata Dewa 19, hidup adalah perjuangan. Perjuangan yang harus kita nikmati,kan?
Proses untuk menjadikan Fantasy sebuah buku pun tidak mudah, maupun terjal.
Sejak aku mulai membaca di usia 3 tahun, aku tahu dimana letak jiwaku menaruh kesetiaannya pada hobi. Meskipun hobiku silih berganti berubah, dari membaca, koleksi perangko, bercocok tanam, menari, menyanyi (di kamar mandi), berdebat, berlari, berenang, and so on. Namun membaca adalah satu-satunya hobi yang tidak pernah hilang bersama dengan ke-alay-anku ( baca:tak lekang oleh alay)
Buku favoritku saat SD tentu saja, buku favorit jutaan anak kecil, Enid Blyton Lima Sekawan dan Trio Detektif. Meskipun saat SD dan masih begitu banyak kosakata yang tidak dapat kucerna (hasil dari terjemahan yang yah..you know lah) seperti ngarai, rollsroyce, ceruk, dan jutaan lainnya, namun aku jatuh cinta pada kedua buku itu. Saat itulah pikiranku mulai berkelana bahwa aku adalah Jupiter Jones versi perempuan yang bernama Mary Beth dimana ia memiliki rambut brunette, berkaca mata dan berkepang dua. Instead of memulai petualanganku di dunia luar (karena batasan jam main dari Mamah), aku memilih berpetualang dengan imajnasiku. Kelas 2 SD aku memulai kisah Mary Beth bersahabat dengan Jane (sedikit mirip dengan Jupiter Jones dari nama), Margareth, Charlotte dan Terry. Kelimanya adalah detektif cilik wanita yang bekerja sebagai baby sitter (which is later terpengaruh oleh Mallory) dan bertugas untuk memecahkan misteri yang settingnya di negeri entah berantah.
Melihat ketekunanku mengetik di mesin ketik sambil berebut okupansi dengan kakakku saat itu (yang menggunakan mesin ketik untuk menulis makalah -well yang saat itu aku juga tidak tahu artinya), Ayahku terpancing. Aku ingat dengan baik apa yang ia katakan saat itu: "Anakku berbakat menulis!!!"
Perasaan bangga dan tersanjung menggelembungkan harga diri anak ingusan itu dan membuatku semakin menjadi-jadi menulis kisah Panca Detektif (which one again sounds very Trio Detektif). Paralel dengan kegilaanku mengetik, Ayahku mengerti bahwa aku membutuhkan asupan bahan untuk menulis sehingga setiap hari beliau akan membelikanku majalah Mentari Putera Harapan bekas yang dijual di kereta ekonomi Surabaya-Malang. Harganya adalah Rp.1000,- dan dengan harga itu Ayahku berhasil memberiku 3 buah majalah bekas untuk nutrisi otakku.
Layaknya anak SD, aku perlahan kehilangan arah dalam tulisanku dan tersesat. Membuat misteri sangat mudah, namun untuk memecahkannya rupanya otak SD ku belum mampu. Melihat aku sudah berhenti tergila-gila mengetik, ayahku mulai mengenalkanku pada kolom-kolom kecil di majalah anak-anak. Aku mulai mengisi kolom-kolom kecil tersebut dengan tema yang telah disarankan oleh Ayahku.
Alhasil, beberapa kali aku mendapatkan komik gratis, kaos C59 gratis dan uang saku atas dimuatnya beberapa tulisanku di tabloid Tablo, dan Fantasy (kalau tidak salah-aku lupa!).
Hal itu terus berlanjut sampai akhirnya aku menemukan hobi baru, meminta perangko bekas di Kantor Pos yang kulewati saat berangkat ke SMPku, dan stek tangkai bunga mawar kemudian menanamnya di halaman rumahku. Saat itu aku melupakan ide untuk menulis, dan lagi pula saat itu ayahku sedang sakit yang cukup lama sehingga menulis belum sempat terlintas di otakku.
Menginjak usia SMA, saat jiwaku berada di titik paling dinamis, rupanya aku membutuhkan suatu wadah untuk menyalurkan curhatanku yang dikamuflasekan dalam karya tulis. Bergabung dengan klub jurnalistik dan menemukan sahabat otakku yang terbaik. Berdua kami mendominasi karya tulis yang beredar di sekolah. Dari Majalah dinding, Tabloid dan majalah sekolah, sampai buletin tidak resmi: Bhoeloeqhoetoeq yang berisi gosip-gosip mengada-ada.
Di saat itulah aku menemukan kembali my lost hobby: menulis. Hampir setiap hari, setelah aku putus dari pacar paling berarti saat itu, aku menulis cerpen yang super melankolis. Seperti murakami muda, cerpenku berisi kematian, sakit parah, dan putus cinta- aku telah menjadi Mira W di jaman itu.
Kemudian, aku memaksa (kembali) teman-temanku untuk membacanya. AKu tidak mempedulikan feedback dari mereka, aku hanya menerima pujian atas apa yang aku tulis. Saat itu, cerpen-cerpen super depresi yang kubuat hanya berakhir di tumpukan kertas binder.
Dan menginjak usia kuliah, aku terlalu sibuk mengerjakan tugas (dan bermain) sehingga sekali lagi aku lupa dengan menulis.
Pertemuanku dengan Fantasy pertama kali adalah karena komik Nodame Cantabile. Aku tergila-gila dengan komik dan dorama nya karena selain lucu, namun juga caranya yang mudah untuk mengenalkan musik klasik kepada telinga orang awam. Dulu jaman SMA, kakakku mengkoleksi musik klasik dan selalu memperdengarkannya di dalam rumah, sebagai adik yang selalu mencontoh kakaknya, baru kali itu musik klasik terasa sulit untuk aku cermati.
Tergugah, aku tersadar bahwa musik klasik adalah musik yang jarang dikonsumsi oleh orang Indonesia. Bahkan tanpa harus mencari di google, aku tidak tahu musisi dari Indonesia yang mana yang menggeluti musik klasik.
Membawa spirit untuk mengenalkan musik klasik pada orang awam, aku mulai menyusun Fantasy di tahun 2009. Sepulang kerja, aku duduk di depan laptop dan mulai menggembalakan pikiranku ke dalam dunia yang sama sekali tidak kuketahui. Mau tidak mau aku juga harus mencari tahu tentang 'rumah' musik klasik berada, negara dimana seorang Beethoven, Mozart menciptakan musik yang berlangsung abadi.
Menulis novel adalah suatu proses yang cukup panjang. Seperti menjalani hubungan, proses ini membutuhkan komitmen, kejujuran, dan dedikasi. Kalau tidak, seperti aku, di tengah jalan aku kehilangan 'feel' tidak tahu harus dibawa kemana novel ini karena seperti saat aku SD, lebih mudah menciptkan konflik sebanyak-banyaknya ala sinetron, namun untuk menyelesaikannya_only God knows when. Selama beberapa saat Fantasy terbengkalai, terlupakan, terhapus, hilang bersama lap top kesayangan.
Saat akhirnya selesai di tahun 2011, aku mengirimkannya kepada seorang teman. Tulisan yang masih super draft rupanya diapresiasi temanku. Katanya : yah lumayanlah cukup menarik. Namun saat itu aku tidak memiliki cukup mimpi untuk mengirimkannya ke Penerbit. It is like reaching a star without rockets.
Kemudian aku memulai project baru dari awal berharap mendapatkan inspirasi lain, nasib Fantasy tertumpuk dengan puluhan pekerjaan lain yang terlupakan. Sampai akhirnya aku membuka-buka kembali file-file lama dan menemukan Fantasy. Setelah mengalami pertumbuhan kedewasaan dan banyak referensi bacaan, akhirnya aku meremake Fantasy dan mengedarkannya ke inner circle untuk mendapat feedback. Secara paralel, aku mengirimkan Fantasy ke Gramedia Pustaka Utama (GPU). Yeah, how could i have a big gut like that?
Setelah berbulan-bulan sibuk mengerjakan project novel baru, akhirnya aku mendapatkan sms dari GPU yang menyatakan bahwa Fantasy akan diterbitkan oleh mereka. Saat itu aku sama sekali tidak percaya hingga aku menelpon GPU untuk memastikan. Perasaanku tidak dapat dideskripsikan, seandainya perasaan bahagiaku bisa disampaikan, maka akan meluncur tinggi di langit gelap dan menyemburatkan puluhan warna kembang api.
Aku berlari, meloncat, dan memeluk orang-orang terdekat, mungkin hari itu adalah the best day of my life. That moment.
Rasanya saat itu aku menjadi orang paling bahagia di muka bumi ini. The feeling when your life is complete!You love your self, and you heart your life.
Namun ternyata, hari dimana aku mendaratkan roketku ke bulan adalah hari ketika aku kehilangan roketku. Sore hari itu, aku mendapatkan berita tentang kepergian ayahku. Suatu ironi kehidupan. Lelucon hidup.
Berita tentang Fantasy aku lupakan dan aku fokus pada pemakaman ayahku. Sampai akhirnya seminggu kemudian aku mulai menghubungi editorku dan bertekad untuk menyelesaikan mimpiku, bersama dengan mimpi ayahku.
Ya, Fantasy lahir dari mimpi masa kecilku yang dirawat dengan baik oleh Ayahku, dan teman-temanku. Tidak ada ucapan terima kasih yang cukup untuk dapat mengungkapkan rasa terima kasihku pada siapapun yang turut melancarkan Fantasy lahir ke tangan para pembaca.
Namun satu hal penting yang aku ingat dari terwujudnya mimpiku. Tidak ada satupun mimpi mampu terwujud tanpa ada dukungan orang sekitarmu.
Mereka, secara sadar dan tidak sadar yang terus menyalakan asaku untuk terus bermimpi, bahkan ketika aku menolak untuk terus bermimpi. Karena itu jangan pernah merasa bahwa terwujudnya satu mimpi adalah karena hasil jerih payah kita sendiri, lebih-lebih kehebatan kita.
Terwujudnya mimpi adalah proses pengolahan dari berbagai tangan hingga akhirnya bertemu dengan jalan nasib.
Jangan letih untuk bermimpi
Jangan pernah meremehkan peran-peran orang di sekitar kita
dan jangan melupakan orang-orang yang mengangkat kita ketika kita sudah berada di atas.
Mimpimu bukan hanya milikmu
Mimpimu hanya akan terwujud ketika kamu mulai membaginya.
That's how Fantasy works.
That's how Davina, Armitha and Awang achieve their dream.
Once again,
Don't you think its time we started
doing what we always wanted,
one day we're gonna get so high..
This book is not about love,
This is about how you make your dream comes true.
With love,
Novellina
Comments
Post a Comment