the Gorgeous Maldives
My foot prints on Maldives!!! |
Oke, take a deep breath and here, I will tell the complete story about traveling to Maldives dan dikarenakan complain dari teman-teman karena saya terlalu banyak bahasa inggris di blog, saya dianjurkan untuk menulis dalam bahasa Indonesia. Ngga ngerti kenapa katanya bahasa inggris bikin pusing (T_T)
Maldives. Where is it actually? Sebelum mulai merencanakan perjalanan honeymoon kami (d.h.i aku dan suami) ke Maldives, it never crossed in our mind where is Maldives actually. In my mind map, Maldives is somewhere below India, belok dikit lah. Kenyataannya, Negara terdekat dengan Maldives adalah Sri Lanka.
Perjalanan menuju Maldives tentu saja ditempuh memakai pesawat. Karena kita maunya travelling mewah murah meriah, kami memilih maskapai penerbangan yang tidak direct yaitu melewati Singapore terlebih dahulu. Due to the limited space and time, aku tidak akan menceritakan kisah transit sehari saja di Singapore di tulisan ini. But thanks to BNI Credit Card, aku dapat diskon 40% untuk menginap di Accor Clarke Quay Singapore.
View From Novotel Clarke Quay |
Setelah berputar-putar belanja obat flu yang harganya OMG!!!!! SGD 5 (our last SGD ituh :( ) di Changi, kami putuskan untuk duduk dan menikmati betapa nyamannya bandara Changi. Thanks to the foot-massage-chair! Really the brilliant idea to put that in there!
Foot massage in Changi, Heaven!!! eh for free yaa.. |
On time, kami naik Tiger Airways yang akan membawa kami ke Male. Melihat sejenak ke penumpang sekitar, aku bisa merasakan hawa liburan dan pantai yang sangat kuat. Beberapa turis sudah mengenakan celana pendek, dan beberapa cewe sudah memakai longdress dan topi pantai. Uh! can't wait to be there!
Setelah perjalanan sekitar 4 jam, kami tiba di bandara Ibrahim Nasir International Airport yaitu sekitar pukul 12 Siang. Karena di Male berada di zona waktu 2 jam dibelakang Jakarta, total perjalanan sekitar 4 jam.
Saat pesawat mulai mendekat untuk landing, dari jendela kami melihat warna biru laut yang mendominasi dan terdapat beberapa warna turquoise, seperti bercak yang ada di sana sini. Awalnya kupikir bercak itu adalah pulau-pulau kecil, namun take a look little closer, ada beberapa warna turquoise yang tidak mengelilingi pulau. Big mystery in my mind? really what is that green-thing?
Mendarat tepat pukul 12 Siang langsung disambut oleh sengatan matahari di puncak kepala. Angin berhembus dengan pelit namun seperti berkah bagiku yang agak anti-panas :D. Namun setelah merasakan beberapa saat, aku mendapat kesimpulan bahwa matahari dan cuaca di Maldives tidak semenyengat cuaca di Gili Trawangan. (+50 points added)
Rutinitas wajib : Narsis! |
Setelah mengurus imigrasi, dan keluar dari area baggage, kami langsung disambut beberapa counter money changer. Karena begitu panjangnya antrian, kami tergoda untuk ikut menukarkan USD yang kami pegang. Ratenya saat itu adalah 1 USD = 1.5 Maldivian Rufiya. Kami menukar hanya USD 100 dan mendapatkan 1500 Rufiya which is membawa penyesalan kami kelak :(
Setelah keluar dari area kedatangan, pandangan kami langsung tertuju pada deretan orang Maldives yang membawa papan-papan nama dengan simbol hotel masing-masing. Kami celingukan sesaat dan ternyata tidak ada yang menjemput :(. Setelah memeriksa hotel reservation kami, kami segera menuju ke lokasi 'wajib lapor' di counter hotel kami.
Setelah menunggu sesaat, akhirnya kami dilayani dan diberitahu kalau kami harus berada di sana sejam lagi untuk meneruskan perjalanan kembali. Dengan excited, kami putuskan untuk explore bandara karena nanti di kepulangan kami harus menghabiskan waktu yang panjang dari check-out time ke flight kepulangan kami.
Sang suami memutuskan untuk membeli kartu prabayar due to his inability to live without data (:)) maaf ya suami :p). Harga kartu prabayar disana sekitar USD 17 untuk paket data 1.2GB. Saat melihat pricelistnya yang USD kami jadi agak curiga kalau di Maldives semuanya bisa dibayar pakai USD.
Tepat pukul setengah 2 kami pergi melapor ke representative hotel dan ternyata kami dibawa ke terminal keberangkatan dosmetik. Setelah check in dan memeriksa boarding pass, kami harus menunggu sekitar 2 jam untuk keberangkatan selanjutnya ke Daravandhoo. Karena masih lama, kami putuskan mengisi perut di kafe dekat terminal keberangkatan. Menariknya dalam daftar menu kafe tersebut terdapat "Nasi Goreng". Literally Nasi Goreng, dan uniknya nasi goreng indonesia yang berisi ayam harganya lebih mahal daripada nasi goreng tuna. Kami memilih nasi goreng tuna, dan rasanya masih acceptable :)
Setelah mengisi perut, kami putuskan berjalan sejenak ke port di seberang kafe dan berfoto-foto. Konon, dermaga tersebut adalah terminal yang menghubungkan bandara dengan ibu kota Maldives, Male. Saat duduk di dermaga, mataku berlinang-linang karena melihat jernihnya air hingga aku bisa melihat dasar laut (dan juga kepanasan). Misteri hijaunya laut Maldives masih belum terpecahkan olehku.
Hey!look for the Turquoise Sea! |
Setelah puas berputar-putar kami masuk ke ruang tunggu dan menikmati dinginnya AC di dalam ruangan. Ruang tunggu keberangkatan domestik sendiri bisa dibilang lebih pantas menjadi terminal daripada bandara. Namun melihat begitu banyak suku bangsa yang sedang berada di sana, yakinlah aku kalau sedang di bandara internasional. Turis-turis yang banyak datang saat kedatanganku berasal dari Asia Timur- China, Taiwan, Jepang, Hong Kong, Korea dan aku tergoda melihat baju-baju mereka yang super modis :(
Tepat jam keberangkatan, kami mengantri keluar dari Bandara dan menuju pesawat kecil yang akan mengantarkan kami ke pulau tempat hotel kami berada dan Jeng-jeng....
Pesawat Kecil untuk menuju ke Daravandhoo |
Di dalam pesawat yang cukup sempit, namun ternyata memuat cukup banyak penumpang mungkin sekitar 20-an orang dan full. Suasana di pesawat, panas dan suara mesin yang super berisik. Mengalihkan perhatianku, aku putuskan mengintip di balik jendela and gasped.
My God, mungkin hanya di tempat ini, satu-satunya pemandangan ini di seluruh dunia. Birunya laut berpadu dengan gumpalan awan dan cerahnya langit, dan terlihat gugusan pulau yang seakan berbaris secara vertikal dengan warna hijau tumbuhan, dipadu dengan hijau laut.
It is magnificient!
Gugusan pulau dikelilingi hijaunya air laut! |
Menggenggam tangan suami, aku semakin excited dan tidak sabar untuk segera landing. I'm not really death-fans of beach, tapi melihat pemandangan selangka ini, aku merasa sangat bersyukur punya kesempatan untuk berada di sana. Not every people has the chance to see the wonder of God's creation.
Setelah penerbangan sekitar selama 15 menit, kami mendarat di Bandara Daravandhoo which is lebih kecil daripada terminal domestik Bandara Ibrahim Nasir. Di sana kami segera disambut dengan petugas hotel dan mengajak kami menuju ke port mengendarai semacam mobil golf.
Bandara Daravandhoo |
White Boat :D |
Dari Port ke Hotel |
Kamar di dalam hotel sendiri lebih mirip cottage yang tersebar di pinggir pantai. Masing-masing kamar terpisah antar unit dan memiliki private beach. Di dalam kamar yang mayoritas beraksen kayu terdapat akomodasi yang lengkap dari TV, lemari, lemari es, dan kamar mandi yang terdiri dari bathtub dan shower. Di depan kamar, terdapat teras yang langsung mengakses ke pinggir pantai. Di sekeliling kamar banyak tumbuh tanaman bayan (Bayan Tree) dengan ketinggian yang sampai tak terlihat ujungnya (solutif ya aku hahaha).
Kursi malas di depan kamar |
Karena kami memesan honeymoon package, kami mendapatkan banyak privilege seperti Champagne (yang ga bisa kita minum dan akhirnya dikasihkan ke tetangga sebelah), romantic dinner at the sea side restaurant, dan yang pasti dekorasi super heboh.
a compliment from the Hotel |
Dekorasi heboh di tempat tidur |
Romantic dinner di pinggir pantai |
Bahkan selama pacaran, kami tidak pernah merasakan romantic dinner seperti itu. Menjadi perfect karena kita bisa merasakannya once status kita telah menjadi suami istri. Well, the food is also incredible. Kami memesan appetizer, soup dan main course serta desert. Untuk main course, aku lupa apa yang aku pesan (something with seafood) dan untuk pertama kalinya dalam sejarah aku makan udang, itu adalah udang terlezat yang pernah ada. So fresh and moist in my mouth. Menjadi hebat banget karena pada dasarnya I'm not the big fans of prawn.
Dinner malam itu menjadi sangat sempurna jika:
1. Chef bisa memasaknya lebih cepat : kami kelaparan, dan total waktu yang kami butuhkan untuk menunggu makanan sekitar 2 jam padahal hanya ada 3 pasangan tamu di sana (mungkin fine dining slalu begitu ya..entahlah).
2. Hujan tidak serta merta datang dan mengusir kita masuk ke dalam restoran.
Despite two of those, I think that night is the most romantic night I ever had. I even falling in love once again in countless time with my husband :D
happy honeymoon :D |
Kissing and hugging are allowed publicly in that island.
Berjemur di depan kamar hotel |
Untuk melakukan snorkeling, kami tidak butuh menyewa snorkel gear ke pihak hotel. Mereka menyediakan secara free dan kami bisa melakukan dimanapun di sekitar hotel. Bahkan pantai di depan kamar kami juga favorit spot untuk melakukan snorkel. Saat snorkel itulah aku baru sadar bahwa warna hijau air laut berasal dari pantulan warna putihnya pasir dan coral reef yang tumbuh secara bebas hingga ke pinggir pantai.
Pasirnya, unbelievable white. dan coral reefnya pun terjaga kelangsungan hidupnya karena masyarakat lokal sangat berhati-hati untuk menjaganya. Bahkan para pengunjung diingatkan untuk tidak menginjak coral reef.
The unbelievable white sand |
Bersiap untuk Snorkeling |
Coral Reef di pantai depan kamar |
Beraneka macam ikan hias yang tidak takut manusia!!!! |
Dari cara para petugas hotel berbicara dan menginformasikan kami, kami akhirnya mengerti bagaimana mereka sangat menghargai dan mencintai laut mereka. Maldives merupakan negara yang terdiri dari 99% water, dan 1% daratan dengan jumlah atoll (sekumpulan coral reef) sebanyak 26 buah yang memanjang ke bawah. Bisa dibayangkan bahwa mayoritas kehidupan penduduk Maldives bersumber pada laut baik dari sisi perekonomian, transportasi dan populasi.
Sumber perekonomian utama Maldives adalah pariwisita dan bisa dimengerti bagaimana cara mereka menjaga pariwisata itu untuk terus bertahan demi kelangsungan hidup mereka. Memancing ikan untuk konsumsi di Maldives hanya boleh dilakukan dengan memasang jaring-jaring di pinggir pantai, selain itu penggunaan alat lain dilarang agar tidak merusak ekosistem terumbu karang dan ikan. Bahkan demi menjaga terumbu karang, manusia diperingatkan untuk tidak menyentuh atau menginjak terumbu karang. Bahkan dalam pembangunan resort yang kami tinggali, tumbuhan-tumbuhan tua dan hewan liar masih dibiarkan hidup tanpa mengganggu ekosistem mereka sehingga saat malam hari suasana resrot gelap gulita dengan bayang2 tumbuhan bayan dan kelepakan sayap kelelawar. That's why their beauty long lasting.
Sunset di depan kamar :D |
Bisa dibayangkan apa yang terjadi saat gelombang Tsunami menghantam negeri cantik ini di tahun 2004 (yang juga menghantam Aceh). Dilaporkan ribuan resort hancur (biasanya 1 pulau hanya ada 1 resort) , dan ratusan orang hilang bahkan perekonomian negara ini mengalami kontraksi dan tumbuh paling rendah sejak mereka merdeka.
Komoditas utama Maldives adalah tuna dimana cukup menjelaskan mengapa setiap hari selalu ada menu tuna di buffet dan mengapa harga nasi goreng tuna lebih mahal daripada ayam.
Setelah selesai bermalas-malasan di pulau indah, saatnya kami kembali. Karena waktu kami menunggu penerbangan yang memulangkan kami masi panjang, kami putuskan untuk berjalan-jalan sejenak di Ibukota Maldives, Male.
Saat pesawat kami mendekati kota Male, kami mendapati bahwa satu-satunya pulau dengan gedung pencakar langit adalah di kota Male. Aku sudah excited membayangkan kota Male akan seperti kota metropolis di pinggir pantai, namun sang suami men-spoiler bahwa harga taxi di Male flat-kemanapun 20Rufiya. Sudah curiga bahwa kota Male akan sangat kecil.
Setelah mencapai bandara, kami segera ke terminal kapal di seberang bandara dan menaiki salah satu feri dengan membayar 8 Rufiya (sekitar 8000 rupiah). Perjalanan sangat singkat sekitar 10 menit namun cukup mengocok perut karena waktu tunggunya yang lumayan di port.
Sesampai di kota Male, pukul setengah 5 sore kami langsung merasakan matahari menyengat di sebelah barat. Mengetahui kami turis, kami segera dirubung oleh penduduk lokal yang dengan baik hati menunjukkan tempat wisata yang harus dikunjungi di Male.
Awalnya kami menolak dan sudah curiga untuk diantarkan, namun dengan sopan salah satu penduduk membiarkan kami pergi sendiri sambil memberikan kartu nama toko souvenir yang dia miliki di kota Male. Kami pikir setelah itu dia akan pergi, namun sialnya di tengah jalan dia mencegat kami dan setengah memaksa masuk ke toko souvenirnya.
Salah satu wisata utama kota Male adalah kantor dan rumah presiden, kemudian masjid tertua yang ada di sana. Selebihnya wisata kota Male adalah wisata sejarah.
Kantor Presiden |
Masjid Tertua di Male |
Tombs di samping masjid tertua Male |
Rumah Presiden |
In fact, setelah kami berkeliling tanpa arah di kota Male dan merasakan kesal karena souvenirnya yang mahal gila, kami putuskan untuk mencari rumah makan yang ber AC di kota Male setelah sebelumnya kami makan setengah malam di restoran di ujung jalan.
Hampir selama 1 jam kami mengitari Male, dan tidak menemukan restoran ber-AC sampai akhirnya di tengah keputusasaan dan kembali ke Port, kami menemukan rumah makan super kecil dengan AC di dalamnya. Kami pikir karena begitu kepanasan, whatever the price,kami akan bayar untuk harga sebuah AC!
dan jeng jeng...
kami terpana...
harga nasi goreng dan pasta jauh lebih mahal daripada harga fish n chips :D
nasi goreng berkisar antara 120 ribu ke atas sedangkan pasta 150rb ke atas.
Alasan mengapa nasi goreng sangat menjamur di Maldives mungkin karena leluhur penduduk Maldives adalah ada yang dari Indonesia. Karena bahkan di buku menu juga di state- nasi goreng indonesia . Sama seperti Indonesia, Maldives merasakan penjajahan Spanyol, Belanda dan yang terakhir adalah Inggris sampai mereka merdeka di tahun 1965.
Jalanan kota Maldives yang sempit |
Sepanjang penglihatan mata tidak ada angkutan umum (mungkin karena mengelilingi kota bisa ditempuh pakai jalan kaki), hanya ada taxi dan ribuan sepeda motor. Selama 2 jam mengelilingi Male, aku tidak menemukan rumah penduduk lokal tanpa ada toko di depannya. Mungkin ada di sisi lain kota ini.
Tidak ada mall, hanya ada trade center dengan mini market di bawahnya. Saat menengok ke mini marketnya pun, aku menemukan mostly product indonesia-malaysia yang diimport seperti susu dan makanan ringan. Menariknya, hampir semua toko menerima USD sebagai pembayaran. Bahkan ketika membaca majalah tentang pariwisata Maldives terbitan bulan Maret, nilai tukar USD terhadap Rufiya masih sama dengan hari kedatanganku di bulan mei yaitu USD 1 = Rufiya 1.5. Akan menarik untuk melihat bagaimana pemerintah mengatur perekonomiannya karena hampir 2 bulan berturut2 nilai tukar bisa tidak beranjak.
Well, so far, yang paling menarik dari Maldives adalah melihat bagaimana keseimbangan antara keindahan pariwisata bisa beriringan dengan kearifan lokal penduduk Maldives. Melihat bagaimana penduduk sangat merawat alamnya karena mereka mengerti bagaimana cara berterima kasih pada alam yang telah memberikan mereka mata pencaharian. Mungkin pengelolaan pariwisata seperti ini yang harus dicontoh oleh pemerintah kita :)
Yup, sampai disini dulu cerita tentang Maldives. Tunggu part II nya ya...
Comments
Post a Comment