Yatta!!! Chasing Autumn in Japan (part 1)
Just ordinary autumn in Japan |
Mengunjungi Jepang adalah salah satu bucket list yang harus saya kunjungi selama hidup. Namun, berbeda dengan mayoritas orang yang pergi ke Jepang untuk melihat Cherry Blossom, saya lebih memilih autumn for sentimental reasons! Oleh karena itu, saat kemaren akhirnya saya punya waktu (dan dana tentunya) untuk pergi ke Jepang, saya dan suami langsung merencanakan matang-matang kemana saja tempat yang harus kami kunjungi dengan pertimbangan waktu dan tingkat keindahannya-mengingat kami sengaja tidak mengambil paket tour.
Sebelum berangkat ke sana, saya juga menyiapkan hal-hal yang paling esensial untuk hidup di sana yaitu JR Pass dan WiFi. JR Pass karena saya berencana pergi ke beberapa kota memakai shinkansen, dan local trains. Sedangkan WiFi sangat berguna untuk mencari navigasi selama di sana, dan browsing tentunya mengingat susahnya mendapatkan SIM Card untuk pendatang di Jepang.
JR Pass adalah semacam kartu pass yang dikeluarkan oleh perusahaan Japan Railways (yang merupakan penguasa mayoritas jaringan kereta di seluruh Jepang dengan 7 anak perusahaan,5 diantaranya fokus kepada transportasi kereta). Kartu tersebut khusus ditujukan untuk turis yang berkunjung ke Jepang dengan harga yang 'sangat murah'. Sebagai contohnya, saya mengambil JR Pass selama 7 hari dengan harga sekitar JPY 29,050 atau sekitar IDR 3,3 juta yang mungkin terlihat relatif mahal jika kita lihat nominalnya, namun jika saya bandingkan dengan jalur shinkansen yang saya ambil dari Tokyo- Kyoto- Hiroshima-Miyajima-Osaka-Yokohama-Tokyo maka saya harus mengeluarkan uang lebih dari IDR 11 juta hanya untuk shinkansen (belum local trains). Oleh karena itu, mengingat transportasi di Jepang harganya yang ugal-ugalan, mengambil JR Pass adalah pilihan yang bijak.
Saya mendapatkan JR Pass dan WiFi langsung diakomodasi dari Jalan Tour yang ada di Wisma Keai (cara menggunakan JR Pass akan saya jelaskan nanti). Karena saya berencana di Jepang selama 10 hari, saya harus mengcover 3 hari tanpa JR Pass, jadi saya membeli round trip Narita Express (N'EX) sekitar JPY 8,000 dan Suica (semacam kartu Octopus/EZ Link atau Tap Cash kalo di Jakarta) yang bisa digunakan di seluruh kota di Jepang termasuk wilayah Kansai (Osaka-Kyoto-Hiroshima).
Day 1 Jakarta-Narita-Oimachi-Odaiba
Perjalanan dari Jakarta menuju ke Bandara Narita saya tempuh menggunakan Japan Airlines dengan jadwal sekitar jam 6 pagi dari Bandara SHIA dan mendarat sekitar pukul 16.00 waktu setempat (sama dengan waktu WITA). Setelah menyelesaikan bagasi, dan imigrasi saya turun ke hall kedatangan untuk membeli tiket Narita E'xpress return yang akan saya gunakan untuk ke stasiun Oimachi (tempat hotel saya berada) dan saat kembali nanti 10 hari lagi. Tidak lupa, saya reserve seat yang bebas biaya untuk pemegang tiket N'EX.
Perjalanan menuju downtown ditempuh sekitar 1 jam 10 menit sampai ke stasiun Shinagawa, kemudian berpindah ke JR local line untuk sampai ke stasiun Oimachi (kedua stasiun bersebelahan).
Setelah check-in, bersih-bersih, dan membongkar bagasi, saya bersama suami memutuskan makan malam di restoran paling murah yang bisa saya temukan di seluruh Jepang, Sukiya.
Sukiya adalah waralaba semacam Yoshinoya dengan harga lebih murah tipis. Satu beefbowl 'hanya' berharga sekitar JPY 350 atau sekitar IDR 38,000 dengan minum gratis sepuasnya. Di Jepang, setiap restoran selalu menyediakan minum gratis baik berupa ocha maupun air putih, jadi kalau tidak ingin meminum selain keduanya, kita tidak perlu memesan Aqua/ocha lagi.
Setelah mengisi perut, kami putuskan untuk ke Shinjuku mencari barang yang sudah saya idam-idamkan selama di Indonesia yaitu lensa untuk nikon kesayangan. Kami pergi ke MAP camera yang satu lokasi dengan Yodobashi Shinjuku. Sebagai informasi, harga kamera dan lensa di Jepang slightly cheaper dari Indonesia, apalagi saat diperlakukan tax free.
Tujuan kami berikutnya adalah pergi ke Odaiba. Odaiba adalah sebuah pulau buatan di teluk Tokyo yang dipenuhi dengan sarana perbelanjaan, rekreasi dan makanan. Saat kami tiba di sana pukul 9 malam, dan hampir seluruh toko telah tutup. Karena kami ke sana untuk mencari pemandangan, bukan berbelanja, kami putuskan untuk pergi ke pinggir pantai (Raibow Bridge) sambil menikmati udara dingin dan gemerlapnya kota Tokyo.
Rainbow Bridge di Odaiba |
Untuk mencapai ke sini, harus menggunakan kereta private lane (non JR) baik Rinkai line dari stasiun Osaki, atau Yurikamome dari stasiun Shimbasi. Untuk mencapai ke sini bisa cek link ini.
Day II - Fujisan Trip
Gunung Fuji atau Fujiyama merupakan salah satu gunung yang sangat dikenal tidak hanya penduduk Jepang namun juga para pecinta travelling di seluruh dunia. Namanya mungkin sama terkenalnya dengan Mount Everest, karena seringnya nama atau gambar gunung berpuncak salju ini kita temui di buku atau komik yang ditulis oleh orang Jepang.
Nyatanya, perjalanan ke Fuji sama sekali tidak sulit dan melelahkan. Untuk mencapai Fuji 5th station (titik tertinggi yang bisa ditempuh oleh kendaraan) dapat ditempuh menggunakan JR Line dan bus yang banyak disediakan untuk wisatawan.
Karena perjalanan dari Shinagawa ke Fujisan lumayan pricey, kami putuskan untuk mengaktifkan JR Pass dengan cara menukar travel voucher yang kami dapatkan (baca :beli) dari Jalan Tour ke JR ticket service di stasiun Shinagawa. Sebagai bukti, kami diberikan kart pass yang akan berlaku selama 7 hari. Kartu Pass ini harus ditunjukkan di palang pintu yang dijaga petugas di setiap stasiun tempat kita keluar/ masuk.
Dari Shinagawa, kami menuju ke Otsuki Stasiun untuk berpindah ke Fuji Kyuko Local Train. Line kereta ini tidak dicover oleh JR Pass sehingga kami harus menggunakan Suica yang kami beli sebelumnya di stasiun shinagawa. Kami membeli Suica senilai 5000 yen yang berisi 4500yen dan deposit 500 yen. Biaya untuk Fuji Kyuko Line adalah 990 yen atau sekitar IDR 110 ribu.
Fuji Kyuko Line berbentuk seperti KRL biasa namun dengan exterior kereta tua dan kecepatan yang dibuat seolah ikut tua (baca: pelan). Terdapat 2 jenis kereta di line ini yaitu yang menuju ke Fujisan station dan Kawaguchiko Station. Kebetulan kami ketinnggalan yang ke Fujisan Station (which is faster speed), dan naik yang menuju ke Kawaguchiko station. Setelah 30 menit perjalanan, kami turun di stasiun Fujisan (2 stasiun sebelum Kawaguchiko) dan langsung disambut pemandangan gunung fuji yang super besar dan cantik.
Di stasiun, kami sempatkan untuk sarapan di Mos Burger (karena menunya bisa dibaca) dan segera membeli tiket bus return untuk ke Fuji 5th Station (2100 Yen). Karena jadwal busnya per jam, dan kami baru saja ketinggalan bus, kami putuskan untuk sholat dan menikmati pemandangan gunung fuji dari atap stasiun-which is stunning! Dari sini juga kami bisa melihat wahana wisata yang penuh roller coaster-Fujikyu.
Fujiyama dari Stasiun Fujisan |
Tepat pukul 1 siang kami mengendarai Bus untuk menuju ke Fuji 5th Station. Di sepanjang perjalanan sekitar 45 menit, kami disuguhi pemandangan yang luar biasa cantik dari jalan yang super bersih dengan hutan pinus di kanan-kiri jalan yang terlihat berwarna-warni, baik masih hijau, kuning maupun sudah coklat.
Sesampai di Fuji 5 station, kami langsung disambut udara dingin menusuk dengan matahari yang bersinar dengan terik. Melihat ke arah ponsel, kami sudah tidak mendapatkan signal dan kalau saya perkirakan dengan sinus saya yang langsung kambuh, temperature di sana sekitar 5-7 derajat celcius (ilmu baru mengukur temperatur dengan kemampuan hidung :D).
Di Fuji 5th station kita bisa melihat pemandangan gunung fuji secara 360 derajat. Fuji 5th station merupakan rest area dengan restoran, pusat oleh-oleh, tempat parkir dan kuil berdiri cantik di kaki gunung Fuji. Kondisi ketika kami di sana sangat ramai, namun bukan berarti kami tidak bisa berfoto-foto! Berikut foto stunning dari Fujiyama (please excuse my face)
Blue and Blue everywhere |
Fujiyama as background |
Setelah mengelilingi seluruh tempat di Fuji 5th Station, kami pergi ke Kawaguchiko mengendarai bus sama yang mengantarkan kami dari Fujisan Station. Kawaguchiko merupakan sebuah danau di kaki gunung Fuji dimana banyak tempat-tempat rekreasi yang sering dikunjungi oleh wisatawan. Untuk mencapai Kawaguchiko, kami harus naik Sightseeing Bus yang akan berhenti di tiap halte tempat wisata. Karena kami tidak tahu, kami membayar tiap perjalanan bus menggunakan cash dan ternyata setelah dihitung-hitung sangat mahal! Oleh karena itu, kami menyarankan untuk membeli 1-day sightseeing bus pass yang dijual di stasiun Kawaguchi.
Perhentian pertama kami, yang memang sangat kami tuju adalah Maple Tree Corridor. Sebenarnya awalnya kami ingin ke Momiji Tunnel, namun karena menurut petugas di stasiun bahwa pepohonan disana belum sepenuhnya berwarna, kami pergi Ke Maple Tree Corridor untuk melihat deretan pohon maple dan ginkgo yang mulai menunjukkan warna di musim gugur.
Kedua jenis pohon tersebut adalah yang paling 'bertanggung jawab' membuat musim gugur di Jepang menjadi sangat indah, berbeda dengan kota-kota di belahan dunia lain. Pohon Maple Jepang juga berbeda dengan negara-negara lain, dedaunan dari pohon maple Jepang cenderung lebih sempit dan lebih banyak. Jadi saat berwarna merah akan terlihat mencolok dan saat waktunya tepat, maka 1 bukit penuh di kawaguchi akan berwarna merah menyala. Sementara pohon ginkgo merupakan pohon yang dianggap 'endangered' karena populasinya yang makin menyusut. Terkenal karena khasiat untuk kesehatan, pohon ginkgo ternyata juga memberikan warna kuning yang cerah saat musim panas berakhir,
Rainbow Colors of Maple Tree |
Maple Tree Leaves |
Merah Menyala :D |
Maple Tree Corridors |
Bukit yang telah memerah |
Fujiyama dari taman |
Sebelum naik kereta, kami putuskan untuk mencoba makan malam udon di tempura restoran dekat stasiun, dan ternyata cukup efektif untuk menyembuhkan kedinginan di hidung saya! Rasanya sih average namun plusnya adalah harganya cukup terjangkau untuk di lokasi strategis.
Setelah naik kereta dari Kawaguchiko station, kami tiba di Otsuki station dan mengendarai Limited Express Azusa yang juga di cover JR Pass. Oh ya, saat menukar voucher JR Pass di stasiun Shinagawa, kami juga reserve seat untuk mengendarai kereta Express untuk return trip jadi kami tidak perlu berebut mencari kursi di dalam kereta mengingat perjalanan memakan waktu yang cukup lama.
Day 3 Kyoto-the old City! Kyoto Imperial Palace- Arashiyama-Gion
Perjalanan di hari ketiga, kami menjadwalkan untuk mengunjungi kota tua dan penuh sejarah Kyoto. Kyoto terletak kurang lebih 363 km dari kota Tokyo. Perjalanan kami tempuh menggunakan Shinkansen yang juga dicover oleh JR Pass. Sebelum naik kereta, kami harus reserve seat untuk shinkansen di stasiun Shinagawa. Namun karena weekend, seat untuk jadwal kereta terdekat sudah penuh jadi kami harus menunggu sekitar 1 jam untuk 2 kereta berikutnya (kereta ke kyoto ada tiap 20 menit sekali). Belajar dari hal tersebut, kami putuskan untuk reserve seat tiap shinkansen yang akan kami naiki untuk perjalanan 6 hari ke depan dna senangnya, petugas stasiun dengan ramah membantu kami untuk memilih tempat duduk dan jadwal beberapa jadwal perjalanan kami.
Jadwal shinkansen kami adalah pukul 09.40 dan dijadwalkan tiba sekitar pukul 12.11 di stasiun Kyoto dan ternyata jadwalnya tepat!!Salah satu hal yang menarik saat saya amati di Jepang adalah begitu banyaknya jadwal kereta dan hampir seluruhnya selalu tepat waktu. Rel kereta di Jepang seperti aorta yang terus mengalirkan darah agar sistem peredaran orang-orang di Jepang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah.
Namun bukan berarti tidak ada kereta yang terlambat. Saya pernah menemui beberapa kali jadwal kereta local line yang terlambat sekitar 1-2 menit, dan uniknya status terlambat itu dicantumkan di layar di dalam gerbong berikut dengan alasannya. Sebagian besar alasannya adalah karena menunggu penumpang masuk ke kereta, dan pernah sekali saya menemukan alasannya adalah karena terdapat maintenance check.
Anyway, sesampai di stasiun Kyoto, saya menemukan stasiun yang begitu padat dan banyak manusia berlalu lalang. Karena weekend, sebagian besar adalah wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Di minggu kedua November merupakan peak week bagi kota Kyoto karena saat itu sebagian besar pepohonan di Kyoto sudah menunjukkan warna merah menyalanya. Hal ini juga terlihat dari susahnya mencari penginapan di Kyoto pada minggu saya datang dan minggu depannya lagi.
Speaking of lodging, harga penginapan di Kyoto relatif lebih mahal daripada di kota-kota lain di Jepang terutama pada saat peak. Salah satu lodging yang diburu oleh wisatawan adalah Ryokan yaitu hotel yang berbentuk rumah tradisional Jepang yang menawarkan pengalaman untuk menjadi orang Jepang tempo dulu. Beberapa rumah penduduk di Kyoto juga terlihat masih mempertahankan bentuk ryokan daripada rumah modern.
Karena jam check-in penginapan di Jepang (menurut saya) agak sadis, yaitu jam 3 sore, saya harus mencari coin locker untuk menyimpan bagasi saya sebelum berjalan-jalan. Dan karena kondisi stasiun super penuh, jadi hampir semua locker baik yang kecil maupun besar telah terisi bagasi orang yang datang lebih pagi. Berputar-putar dan setengah putus asa, akhirnya kami memutuskan untuk makan siang dulu di food court stasiun dan merasakan beef steak enak asli Jepang.
Japanese Beef Steak, Yum! |
Sesudahnya, kami putuskan untuk mencoba keberuntungan check in lebih awal ke arah apartment yang akan kami tinggali. Namun saat berjalan ke arah line yang akan kami tuju, kami menemukan coin locker besar dan belum terisi. Akhirnya kami putuskan untuk ke Kyoto Imperial Palace terlebih dahulu.
Kyoto Imperial Palace terletak di seberang stasiun Imadegawa yang untungnya dicover oleh JR Pass. Sialnya, begitu sampai ke Kyoto Imperial Palace, kami lupa memeriksa jam tutup istana tersebut yang ternyata jam 3 sore! Akhirnya kami hanya berjalan-jalan di taman istana tersebut dan tidak berhasil masuk ke sana.
Taman di depan Kyoto Imperial Palace |
Sesudahnya, kami putuskan untuk ke Arishiyama, untuk mengunjuki Bamboo Groove yang merupakan salah satu wisata yang wajib dikunjungi di kota Kyoto. Untuk kesana, kami naik kereta (JR Pass cover) dan turun di stasiun Saga-arishiyama. Dari stasiun, kami berjalan ke arah hutan bambu tersebut sekitar 500 meter melewati gang-gang pemukiman penduduk yang not-surprisingly, bersih dan neat! Beberapa rumah penduduk tidak dipagari namun melihat kebersihan dan keteraturannya hampir seperti melihat rumah cluster!
Anyone want neighborhood like this? |
Ternyata, sampai sana masih banyak wisatawan yang datang berjalan-jalan meskipun udara mulai menusuk dan bunyi-bunyi serangga mulai bersautan.
The Famous Bamboo Groove |
Jika mungkin kamu membayangkan pasti akan lelah berjalan di sini, jangan khawatir ada kendaraan semacam becak yang ditarik oleh abang-abang yang masih muda (dan berotot!). Untuk lebih menghayati suasana, coba berdandan dengan pakaian tradisional jepang dan berjalan-jalan di sini. Mungkin dengan begitu, bisa dirasakan bagaimana perasaan Chiyo di Memoirs of Geisha! (sorry random thoughts!)
Sebelum pulang, jangan lupa mampir ke stall yang ada di ujung jalan untuk merasakan jajanan jalanan ala Kyoto. Karena kelaparan, saya mencoba japanese fried chicken meskipun saya tidak suka ayam. Dan fantastiknya, ternyata enak pake banget! Japanese fried chicken hampir mirip dengan korean fried chicken seperti bon chon atau kyo chon, namun japanese friend chicken tidak dibumbui manis/pedas namun simply daging dan kulit yang terasa manis hingga ke dagingnya. Saya tidak tahu misteri apa yang membuat ayam tanpa tulang itu begitu manis, yang penting saya suka!!
Exhausted dan drained, saya putuskan untuk mengambil bagasi di stasiun kyoto dan check in ke apartment. Namun perjalanan saya terlalu sayang jika harus diakhiri terlalu dini. Setelah bersih-bersih, saya putuskan untuk berjalan-jalan malam di Gion. Gion adalah salah satu jalanan di Kyoto yang sangat terkenal karena jajaran rumah-rumah tradisional jepang yang menawarkan jamuan makan malam, teh dan tentu saja geisha!
Untuk menuju ke Gion, cukup mengendari kereta JR line dan turun di stasiun Gion-Shijo. Dari stasiun, kita akan mengikuti arus manusia yang sebagian besar berjalan ke arah Gion untuk menikmati malam. Selama perjalanan, jangan lupa untuk memeriksa toko kanan-kiri yang banyak menjual handicraft asli Jepang dan tentu saja eskrim asli dari Jepang, soft ice cream with green tea flavor. Karena kondisi saat itu malam, dan saya tidak terlalu suka green tea flavor, saya tidak mencoba soft ice cream nya. Namun untuk souvenir, jangan takut untuk membeli karena overprice! karena setelah mencoba mencari di kota-kota lain di Jepang, harganya relatif sama dan ada beberapa barang yang tidak bisa ditemui di kota lain (intinya jangan sampai menyesal).
Traditional Tea House in Gion |
Narrow Pathway between Houses |
Restaurant in Gion |
Setelah berputar-putar dan kami tidak menemukan Geisha, akhirnya kami putuskan untuk mengakhiri perjalanan hari itu dan kembali ke apartment. Keesokannya, kami akan mengelilingi kota Kyoto dari pagi hingga malam!
Well, karena terlalu panjang, saya akan membagi perjalanan 10 hari ke Jepang menjadi beberapa part.
Untuk part 1, mari kita lakukan financial check untuk perencanaan dan gambaran budget yang harus disiapkan untuk perjalanan ke Jepang. Percayalah, perjalanan kami ini dilakukan dengan usaha budget seminim mungkin namun tanpa mengabaikan kenyamanan kami!
Berikut perkiraan budget sampai hari ketiga di Jepang.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Comments
Post a Comment