My Memory Box
The Same Jungle of Concretes |
Hampir lebih dari 15 tahun yang lalu, saya memiliki seorang teman yang bercita-cita menjadi Ambassador. Dibesarkan bersama orang-orang yang memiliki cita-cita 'general', saya agak terusik ketika mendengar cita-cita yang aneh tersebut.
Why Ambassador? Atau tepatnya, apa itu Ambassador?
Mendengar penjelasannya yang sederhana (namun cukup menjual) tentang nikmatnya hidup di luar negeri-menjadi orang yang punya kekuasaan diantara orang Indonesia di negara lain, membuat saya cukup tertarik dengan jenis pekerjaan ini. Namun dia menambahkan, jika ingin menjadi Ambassador maka saya harus mengambil jurusan Hubungan Internasional-terutama di Universitas Indonesia.
Namun dibesarkan oleh seorang Ayah yang berjiwa ITS sejati, keinginan menjadi Ambassador tidak lagi terlintas dalam benak saya. Sampai akhirnya sekitar lebih dari 8 tahun yang lalu, saya melihat posting foto teman saya tersebut di facebook, berlatar-belakang lokasi di sebuah kota di Paman Sam bersama dengan komunitas Indonesia, saya tahu Ia sedang mewujudkan impiannya! That time, I was smile ear to ear!
Iseng, saya mulai mencari lowongan kerja di Kementrian Luar Negeri, benar saja! Saya tidak menemukan requirement : All Major dalam setiap posisi yang sedang vacant. Hanya sekian menit, keinginan tersebut lenyap setelah tertabrak tembok pembatas yang sangat kuat.
Moving on, saya masuk ke institusi sama yang menaungi saya sampai dengan saat ini. Saat berada dalam class training, kami mendapat kelas motivasi dan salah satu exercise yang diminta adalah menulis jabatan yang ingin diraih ketika benar-benar menjadi pegawai tetap. Kebetulan, sama seperti saat kita di masa orientasi kuliah, sebelumnya kami dikenalkan dengan orang-orang inspiratif dari tempat saya bekerja tersebut.
Jadi saat saya menulis jabatan yang ingin diraih, saya menulis:
Home Staff
Ketika teman saya yang lain menulis jabatan prestisius seperti direktur, general manager, direktur utama, saya hanya ingin merasakan hidup sebagai Home Staff.
Home Staff adalah pegawai di Head Office (baca : Indonesia) yang ditempatkan di Cabang Luar Negeri untuk bekerja dan terjun langsung dengan budaya bisnis di negeri lain. Saya bayangkan experience yang akan saya rasakan pasti luar biasa. Dan biasanya Home Staff ditempatkan untuk waktu 2-3 tahunan jadi saya bisa kembali ke Indonesia for certain time.
Beberapa tahun di awal kerja, saya sempat kepikiran untuk mengambil beasiswa S-2 di Luar Negeri namun tidak pernah memiliki cukup willingness untuk mengumpulkan dokumen dan membuat essay. Because trust me, I don't have any criteria to be categorized as social or noble person. Catatan keorganisasian saya hanya sebanyak jenjang sekolah yang saya miliki. Apalagi catatan saya melakukan perjuangan untuk mengubah kehidupan bangsa, tidak lebih banyak dari jumlah eyeshadow yang saya miliki (dua-dan itu dikasih ibu saya). Karena itu, tidak pede saya selalu memikirkan bahwa IQ saja tidak cukup untuk menjadi kandidat penerima beasiswa S2 dengan jumlah antrian seperti audisi Indonesia Idol tersebut.
Delapan tahun kemudian, saat saya diberikan amplop yang berisi surat keputusan saya dimutasi, jantung saya berdegup kencang. Begitu banyak pertimbangan yang harus saya pikirkan dan menahan saya untuk pergi. Jika diumpamakan, saya hidup di atas awan di Jakarta, my life is very perfect in imperfect way. Namun saya tahu, mungkin suami saya juga tahu secara tidak sadar, bahwa jauh di lubuk hati saya ada nyala api kecil-sebuah harapan untuk mencoba pengalaman baru.
Maka di bulan Januari, disinilah saya. Lima Ribu kilometer lebih jauhnya dari rumah, memandangi raut wajah kota yang baru dan untuk pertama kalinya merasakan suhu lebih dari minus dua puluh derajat, hidung berair, kulit mengelupas, kaki bentol-bentol merah namun saya super bahagia!
Seluruh indra saya menggeliat hidup, adrenalin mendidih, jika saya masih berusia 5 tahun mungkin bisa disebut saya sedang sugar rush. Saya super happy dan stress sekaligus, bahkan saat menulis ini dan teringat kotak mimpi yang mulai terbuka, saya hampir menangis.
Memulai hidup 'permanen' di negara lain adalah suatu tantangan dan dibutuhkan keberanian yang_tidak terduga sangat besar. Saya datang sendiri di kota ini, dengan tiga buah koper dan tanpa bekal bahasa lokal.
Kota ini juga terkadang sangat membuat frustasi dengan Google Map yang tidak bisa bekerja akurat, minimnya petunjuk dalam bahasa Inggris dan sopir taxi yang menolak penumpang asing-tidak bisa bicara lokal.
Kota ini juga terkadang membuat kesal saat orang-orangnya yang selalu memburu-buru. Buru-buru membayar, buru-buru pergi setelah makan, buru-buru naik subway karena mungkin bagi mereka waktu adalah hal yang sangat berharga.
Saya bahkan ingin menangis karena kesal harus mencari selimut dan bedcover di malam hari dalam suhu -18 derajat celcius. Jalan kaki sambil menelpon teman yang mengetahui arah jalan ke dept. store terdekat, kemudian menemukan bahwa harga sebuah bed cover yang layak adalah hampir 2 juta rupiah! Untungnya ada selimut bulu yang sedang didiskon tinggal 400ribu rupiah. Dengan terus bersin dan gatal-gatal saya harus memakai selimut itu sampai dua minggu kemudian menemukan bed cover dengan harga yang lebih manusiawi.
Bahkan selama seminggu awal berada di kota ini, karena ketidaktahuan saya, saya telah memakan babi dua kali dan meminum minuman keras 1x (-____-)
First Snow in the City while I was here |
Namun saat melihat salju pertama jatuh selama di kota ini, seperti kapas melayang dan perlahan begitu deras hingga menyelimuti seluruh kota dengan kehangatan warna putih, saya tersenyum dengan sangat lebar. Detik itu saya sadar, di kota saya dibesarkan rutinitas alam yang satu ini tidak pernah ada.
Saat salju turun dengan lebat, saya keluar dari kantor mengambil jalan pulang dengan berjalan kaki, dan membiarkan seluruh tubuh saya tercium oleh salju. Karena salju pertama itu mengingatkan alasan saya berada di sini.
Selimut Putih yang Anehnya Terlihat Hangat di Kejauhan |
Hal ini sangat berarti bagi saya karena berbeda dengan orang-orang yang dibesarkan di Jakarta, saya dibesarkan di Malang (baca : Kepanjen) tidak pernah diajarkan untuk memiliki mimpi ini. Dahulu, mengendarai pesawat adalah sebuah kemewahan karena bandara Malang secara komersil baru ada sekitar tahun 2006. Sehingga hidup di negeri asing adalah hal yang tak terbayang.
Saya juga teringat apa yang pernah dikatakan oleh Bapak teman SMA saya dulu kepada saya. Ia adalah orang yang sangat penting di tempat ia tinggal (somewhere in Kalimantan Island) dan seorang profesor dalam dunia pendidikan, setelah beberapa menit kami mengobrol, Ia bilang pada saya, abruptly : "I know you'll be going into places. People with excellent mind like you, always going into some places and my son will be very dissappoint when he's losing you. I can feel it."
Now that I looked back, and suddenly my memory box is brusted out. Begitu banyak doa dan kepercayaan orang yang telah sematkan kepada saya, believe it or not yang telah membawa saya jauh kesini.
You Know the City from the Fonts |
Saya sengaja menulis hal yang sangat pribadi ini ke blog dan membuka diri karena saya ingin mewakili para anak-anak yang dibesarkan di sebuah kota kecil, atau yang biasa disebut teman Jakarta saya-USDA-Utusan Daerah, bahwa mimpi ini sangat besar bagi kami. Sama seperti Lintang di Laskar Pelangi , kami bahkan tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat kelak kami menginjakkan kaki di tanah asing, bernafas dan merasakan begitu hidup setelah sekian lama karena saat itu kami sadar bahwa mimpi yang terwujud ini seperti sebuah Mukjizat yang Tuhan siapkan khusus untuk butiran debu seperti kami.
Bagi sebagian besar kami, bersekolah di perguruan tinggi yang baik dan memiliki gaji yang dapat mencukupi hidup dan membantu keluarga adalah keberuntungan yang harus kami raih.
Bermimpi menjadi ambassador adalah mimpi anak 'kota' dan meskipun saya tidak berhasil menjadi Ambassador, namun keberadaan saya disini sedikit banyak memiliki esensi keinginan yang sama.
Tulisan ini juga sebuah memory box bagi saya. Karena sambil menulis ini saya mengingat begitu banyak hal yang bahkan tidak tahu pernah saya ingat. My amazing mind yang membuat saya melangkah begitu jauh sampai disini (tentu dengan seluruh restu dan dukungan dari Tuhan dan orang-orang yang ada dalam hidup saya).
Never afraid to dream something impossible, because God always find us a way to achieve it, if you only believe it.
Comments
Post a Comment